Pyongyang, MimbarBangsa.co.id – Dalam beberapa bulan terakhir, pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un telah menyatakan perang melawan pengaruh budaya dari negara tetangganya Korea Selatan (Korsel). Ia bahkan menggambarkan, musik K-pop sebagai penyakit kanker yang ganas jika meresapi warga Korut.
Dorongan budaya populer Korsel bukanlah hal baru bagi rezim tersebut. Faktanya, drama Korea (drakor) dan musik K-pop telah lama digunakan sebagai jenis “kekuatan lunak” untuk mengancam legitimasi Korut dan menciptakan celah dalam sistem komunisme di negara itu yang kaku.
Pengaruh budaya yang ditawarkan Korsel ke warga Korut, memperlihatkan kehidupan di bawah kapitalisme, dengan kebebasan mulai dari gaya rambut hingga pilihan mode yang aneh.
Pada bulan Desember tahun lalu, Korut mengesahkan undang-undang yang dikenal sebagai “UU Penghapusan Pemikiran dan Budaya Reaksioner”. Undang-undang ini bertujuan untuk membatasi konten seperti film, drama serial, dan musik dari luar negara, terutama dari Korea Selatan.
Mereka yang kedapatan memiliki materi tersebut dapat menghadapi hukuman lima hingga 15 tahun penjara, sementara mereka yang mendistribusikan konten tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau mati.
Pada bulan April tahun ini, seorang pria diyakini telah dieksekusi di depan umum oleh regu tembak di depan sekitar 500 orang karena secara ilegal menjual CD dan USB yang berisi konten video dan musik Korea Selatan.
Meski kematiannya merupakan peringatan yang jelas, upaya penindasan Kim Jong Un terhadap drakor dan K-pop mungkin sudah terlambat. Pada 2019, survei terhadap 200 pembelot asal Korut melaporkan, 91 persen dari mereka telah menonton video dari Korsel dan negara asing lainnya saat berada di Korut.
Setiap penggemar drakor pasti akrab dengan istilah “oppa”, sebuah kata yang berarti kakak laki-laki, tetapi itu telah menjadi istilah romantis sayang untuk seorang pria yang lebih tua. Menurut dokumen yang diterima oleh Asia Press, Kim Jong Un menganggap istilah seperti oppa sebagai “kata-kata boneka” Korea Selatan.
Prevalensi jenis kata ini di kalangan orang Korea Utara, khususnya kaum muda, menunjukkan pengaruh budaya Korea Selatan yang berkembang di sana, yang dikenal sebagai “Hallyu” atau “Korean Wave”.
Sebuah drakor populer tahun 2019 berjudul “Crash Landing On You” mengisahkan tentang seorang wanita kaya Korea Selatan yang terdampar di Korea Utara. Dalam serial itu digambarkan, banyak karakter di Korut yang fasih dengan budaya populer Korsel.
Seperti seorang tentara diandalkan sebagai ahli dalam urusan Korea Selatan ternyata menikmati drakor. Seorang remaja di rumah sakit mengakui bahwa dia adalah penggemar BTS (boy band paling terkenal di Korea Selatan) terbesar di Pyongyang. Dan vendor di marketplace menjual produk kecantikan Korsel.
Di zona demiliterisasi, atau kawasan yang memisahkan kedua negara Korea itu, pihak Korsel telah memasang pengeras suara yang dapat digunakan untuk mengirim propaganda ke Korut.
Pada tahun 2016, sebagai tanggapan terhadap uji coba nuklir dari Utara, musik K-pop dipasang dengan keras dan jelas dalam sebuah pertunjukan. Hit K-pop seperti Big Bang Bang Bang Bang dipilih untuk mengganggu rezim komunisme, dan menarik minat setiap orang Korut yang mendengarkan.
Menikmati
Pemimpin Korut Kim Jong Un sendiri sudah pasti mendengarkan dan menikmati K-pop. Pada tahun 2018, ketika konflik antara kedua negara relatif tenang, sebuah konser diadakan di Pyongyang untuk mempromosikan perdamaian. Konser, “Spring is Coming”, menampilkan 11 artis Korsel, termasuk girl group populer Red Velvet.
Menurut Kantor Berita Korea Utara, Kim Jong Un “sangat tersentuh” oleh pertunjukan tersebut dan dengan menyaksikan orang lain dari Utara juga menikmatinya. “Kita harus sering mengadakan pertunjukan budaya dan seni,” katanya kepada artis Korea Selatan.
Dia berterima kasih kepada Red Velvet atas “hadiah mereka untuk warga Pyongyang”.
Namun, para pejabat partai komunis Korut dengan cepat memutarbalikkan kisah sukses ini untuk melemahkan pengaruh budaya Selatan di Utara.
Pada 2019 lalu, film Korsel Parasite mencetak sejarah dengan meraih penghargaan Piala Oscar di Academy Award untuk film terbaik. Kemudian pada 2021 ini, BTS menjadi band K-pop pertama yang masuk nominasi Grammy.
Namun media Korut menggambarkan film Parasite sebagai cara untuk membantu orang melihat bahwa “sistem kapitalis adalah masyarakat yang busuk dan sakit” dan pencapaian BTS dicap sebagai hasil bekerja di bawah kondisi seperti budak.
Jadi, apa yang memicu perubahan Kim Jong Un menjadi lebih keras pada budaya negara tetangganya? Diyakini pandemi Covid-19 telah memaksa Korut menjadi lebih terisolasi.
Kim Jong Un semakin putus asa dengan perbatasan ditutup ke Tiongkok, yang membuat Korut telah kehilangan mitra dagang terbesarnya dan ekonomi negaranya telah lumpuh.
Lebih buruk lagi, kondisi cuaca ekstrem termasuk banjir besar telah secara signifikan mengurangi persediaan makanan. Pada konferensi politik di bulan Juni, Kim mengakui bahwa situasi pangan di negaranya semakin tidak baik.
Undang-undang “UU Penghapusan Pemikiran dan Budaya Reaksioner” tidak mungkin menghentikan pengaruh Korsel ke negara tetangganya yang warganya tengah sengsara ini. Jika orang Korut menemukan cara yang lebih kreatif untuk mengakses dan mengonsumsi media asing, bisa-bisa Kim Jong Un harus menambahkan kata pemberontakan ke dalam daftar masalahnya.
Sumber: channelnewsasia.com
0 Komentar