Breaking News

Jalan Keluar Meredam Kasus Kekerasan Terhadap Anak Di Padang Panjang

Bukittinggi, MimbarBangsa.co.id – Polisi mengamankan seorang pria yang tega memukuli anaknya hingga tewas. Si anak yang baru berusia 3 tahun dipukuli dengan keras karena buang air kecil di celana (mengompol). Kasat Reskrim Polres Padang Panjang Iptu Ferlyanto Pratama mengatakan peristiwa itu terjadi di Rao-rao, Kelurahan Koto Panjang, Kecamatan Padang Panjang Timur, Sumatera Barat, pada Jumat (23/7) sore.

“Tersangka sudah kita amankan, sesuai dengan laporan yang masuk kepada kita kemarin sore,” jelas Kasat Ferly, Sabtu (24/7/2021).

Menanggapi hal ini Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., menyatakan, “Kita prihatin dengan kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Padang Panjang, Sumatera Barat. Hari Anak Nasional 2021 diperingati 23 Juli 2021. Peringatan Hari Anak Nasional ini berdasarkan amanat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tercederai dengan adanya kekerasan yang dilakukan oleh seorang ayah ini, karena pada dasarnya setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan terhadap hak asasinya, bebas dari berbagai bentuk pelanggaran, kekerasan, ancaman, tekanan dan diskriminasi, serta harus mendapatkan kesempatan, kemudahan dan pemberdayaan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupannya,” katanya di Bukittinggi pada Sabtu, (24/7/2021).

“Memang berdasarkan Kajian PPKHI Kota Bukittinggi, kita lihat dari laporan Dinas PPPA Sumbar memperlihatkan angka kekerasan terhadap anak meningkat, tentu ini harus menjadi konsen kita bersama kedepan agar berbagai upaya dapat dilakukan dalam perlindungan anak terhadap kekerasan di Sumatera Barat. Apalagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah bersama masyarakat berkewajiban melakukan upaya pencegahan, perlindungan, pemulihan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan anak. Diperkuat dengan Pasal 7 Perda Kota Padang Panjang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dijelaskan Pemerintah Daerah yang menyatakan masyarakat dan keluarga dan/atau mamak berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak,” tambahnya.

“PPKHI Bukittinggi mengkaji kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan meningkatkan dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan angka tertinggi kekerasan terjadi selama pandemi COVID-19 atau sepanjang 2020. Hal tersebut dicatat Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) di salah satu kota di Sumatera Barat. Apalagi jika lihat berdasarkan Kekerasan terhadap anak di Indonesia telah masuk dalam tarap mengkhawatirkan. Berdasarkan data Sistem Informasi Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode 1 Januari-9 Juni 2021 terjadi 2.319 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan 2.347 korban dan 3.314 kasus kekerasan terhadap anak dengan 3.683 korban,” pungkasnya.

Riyan menyatakan, “Data yang valid sangat bermanfaat untuk mengidentifimasi masalah dan menentukan opsi terbaik dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatera Barat. Meningkatnya kasus kekerasan salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi. Faktor lain, masih minim kesetaraan gender berdampak pada peningkatan kekerasan. Ditambah lagi penerapan pembelajaran sekolah secara daring selama pandemi sering terjadi aksi kekerasan. Selanjutnya masalah lingkungan, faktor gawai yang luar biasa besar pengaruhnya. Apalagi hampir satu tahun anak belajar daring. Penerapannya bagus, tapi kadang dengan pemakaian IT berdampak dengan hal yang tak wajar, ini merusak anak,” paparnya.

“Aksi kekerasan terhadap anak dan perempuan biasanya didominasi di lingkungan keluarga. Apalagi suatu keluarga menjadi salah satu yang terdampak pandemi. Kadang orang tua yang biasa bekerja di luar, sekarang sudah di rumah semuanya. Orang tua yang mendidik ini kadang kurang pas, anak bertanya langsung dicubit, itu sudah suatu bentuk kekerasan. Selain adanya bentuk kekerasan fisik terhadap anak, ada juga bentuk kekerasan lain yang dialami oleh anak-anak. Misalkan kasus penjualan anak atau perdagangan anak untuk tujuan komersial, itu juga merupakan salah satu bentuk lain dari kekerasan terhadap anak. PPKHI Bukittinggi melihat pada data Komisi Nasional Perlindungan Anak Nasional atau KPAI pada 2019, sudah tercatat lebih dari tiga ribu anak telah menjadi korban kekerasan dan sudah diperjualbelikan di banyak negara terutama di Asia Tenggara seperti di Filipina, Singapura, dan Malaysia,” ucapnya.

Jalan Keluar Meredam Kasus Kekerasan terhadap Anak di Padang Panjang

Salah satu isu strategis pasca Perang Dunia I dan Kedua pada awal dan media abad XX adalah masalah anak. Hal tersebut disebabkan karena korban yang paling mengenaskan pasca perang, selain wanita adalah anak-anak. Perang –dan juga aneka bencana– telah melahirkan anak-anak tiba-tiba menjadi yatim piatu, kehilangan orang-orang yang dicintai, mengalami cacat pisik, trauma mental, serta kehilangan harapan akan masa depannya. Kenyataan itu membawa gerakan untuk melindungi anak (save children movement) dari berbagai kelompok masyarakat. Mereka mendesak kepada organisasi internasional, dan juga pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perang untuk lebih memberikan perhatian kepada anak. Perjuangan para aktivis perlindungan anak mencapai puncak keberhasilan ketika pada tahun 1989 semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

“Pemerintah kita pun telah mempunyai beberapa peraturan khusus untuk perlidungan terhadap anak-anak. Peraturan tersebut terdiri dari Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, serta Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan bahkan di Padang Panjang sendiri telah ada Perda Kota Padang Panjang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Jadi, meskipun sudah ada undang-undang, masyarakat Sumatera Barat juga harus ikut berperan dalam melindungi hak-hak anak, khususnya kekerasan terhadap anak. Jangan sampai mereka menjadi pelaku utama, karena bila sudah seperti itu maka berbahaya untuk ke depannya. Masyarakat tentunya harus menjadi garda terdepan untuk selalu mengayomi dan melindungi serta memperjuangkan terpenuhinya hak anak-anak. Apalagi dalam Pasal 9 Perda Kota Padang Panjang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dinyatakan masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan, pengurangan resiko dan penanganan kasus perempuan dan anak korban kekerasan, eksploitasi, perdagangan orang, penelantaran dan perlakukan salah,” tutup Alumni Universitas Indonesia ini. (*)

© Copyright 2024 - HARIAN NIAS - PUSAT BERITA KEPULAUAN NIAS