Jakarta, MimbarBangsa.co.id — Belum tuntas redam lonjakan infeksi Covid-19 akibat varian Delta, pemerintah Malaysia dihadapkan dengan tekanan oposisi yang mendesak Perdana Menteri Muhyiddin Yassin mundur.
Kepemimpinan Muhyiddin terus digoyang pihak oposisi yang menganggap pemerintahannya gagal menangani pandemi Covid-19 di Negeri Jiran.
Tak hanya dari anggota parlemen oposisi, sedikitnya 2.000 warga Malaysia juga berdemonstrasi menuntut Muhyiddin lengser dari jabatannya dalam aksi protes bertajuk #Lawan pada 1 Agustus lalu.
Saat ini, Malaysia mencatat total penularan Covid-19 sebanyak 1,16 juta kasus dengan 9.598 kematian.
Tidak Puas Penanganan Covid-19
Di awal pandemi Covid-19, pemerintahan Muhyiddin dinilai berhasil menekan penyebaran dan laju infeksi Covid-19, salah satunya dengan menerapkan penguncian wilayah pada Maret 2020.
Setelah tren penularan Covid-19 turun, pemerintah pun melonggarkan kebijakan lockdown secara situasional.
Namun, akibat infeksi virus corona kembali melonjak signifikan sekitar Februari 2021, pemerintah kembali mengencangkan ikat pinggang dengan memperketat pembatasan pergerakan sosial.
Saat itu, pemerintah dengan persetujuan Raja Malaysia, Yang di-Pertuan Agong Sultan Abdullah Ahmad Shah, menerapkan status darurat Covid-19 nasional.
Karena kasus Covid-19 tak kunjung menurun ditambah penyebaran varian Delta yang terus meluas, pemerintahan Muhyiddin pun akhirnya menerapkan lockdown total nasional pada 1 Juni lalu.
Saat itu, infeksi Covid-19 harian mencapai lebih dari 4.000 kasus dalam sehari. Tren penularan Covid-19 harian di Negeri Jiran pun kian tinggi hingga mencapai 17.105 kasus dalam sehari pada Selasa (3/8).
Kekecewaan sebagian masyarakat pun terus meluas lantaran pemerintah dinilai tak bisa meredam penularan Covid-19 meski telah menerapkan status darurat nasional.
Deklarasi status darurat memberikan Muhyiddin kewenangan untuk menangguhkan parlemen (reses). Dengan begitu, Muhyiddin dapat menerapkan kebijakan penanganan pandemi tanpa melalui persetujuan legislatif karena aktivitas parlemen ditangguhkan (reses).
Sejak itu, pihak oposisi pemerintah mulai resah karena tak dapat menyampaikan perbedaan pendapat dan masukan mengenai penanganan Covid-19.
Beberapa pihak menganggap masa reses dimanfaatkan Muhyiddin menghindari kritik terhadap pemerintahannya yang hanya memegang mayoritas kecil setelah pecah kongsi dengan koalisi Pakatan Harapan.
Kekuasaan Muhyiddin kian berada di ujung tanduk setelah partai politik terbesar di Negeri Jiran, UMNO, menarik dukungan terhadap pemerintah pada awal Juli lalu.
Salah satu alasan UMNO adalah karena pemerintahan Muhyiddin dinilai gagal menangani pandemi virus corona. UMNO bahkan mendesak Muhyiddin mundur sebagai perdana menteri.
PM Malaysia Cekcok dengan Raja
Tuntutan Muhyiddin mundur kian santer terdengar terutama setelah cekcok dengan Raja terkait status darurat nasional Covid-19.
Sultan Abdullah, merasa tersinggung karena dilangkahi kewenangannya oleh pemerintah setelah salah satu menteri kabinet Muhyiddin mengumumkan tak akan memperpanjang status darurat Covid-19 tanpa konsultasi raja.
Istana Kerajaan menuturkan “Yang Mulia sangat sedih” dengan pengumuman pencabutan status darurat yang dibuat kabinet Muhyiddin.
“Yang Mulia menekankan bahwa pernyataan menteri di parlemen pada 26 Juli tak akurat dan menyesatkan anggota parlemen,” bunyi pernyataan Istana Kerajaan Malaysia pada Kamis (29/7).
Sultan Abdullah menilai pencabutan status darurat Covid-19 yang terburu-buru dan pernyataan yang menyesatkan di parlemen mencerminkan sikap tak menghormati supremasi hukum sebagaimana tercantum dalam Rukun Negara.
Pernyataan raja menegaskan meskipun Raja harus bertindak sesuai saran kabinet, sebagai kepala negara Sultan Abdullah memiliki tanggung jawab memberi nasihat atas tindakan yang inkonstitusional oleh pihak manapun, terutama mereka yang melaksanakan fungsi dan kekuasaan raja.
Baru-baru ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Malaysia, Shamsul Anuar Nasarah, juga mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk kesetiaan terhadap partainya, UMNO, yang menolak keputusan pemerintah pusat terkait status darurat Covid-19.
UMNO bahkan mendesak menteri lainnya mundur mengikuti jejak Shamsul demi mempertegas protes terhadap pemerintah.
Mosi Tidak Percaya
Saat bertemu Sultan Abdullah pada Rabu (4/8), Muhyiddin mengklaim masih memegang dukungan mayoritas anggota parlemen. Ia pun bertekad mempertahankan posisinya sebagai PM dan menentang seruan oposisi untuk mundur.
Muhyiddin mengaku akan menggelar pemilihan sela untuk memastikan legitimasinya sebagai PM ketika parlemen kembali bersidang pada September mendatang.
“Saya telah memberi tahu raja bahwa saya telah menerima sejumlah pernyataan dari anggota parlemen yang meyakinkan saya bahwa saya masih memiliki kepercayaan dari mayoritas anggota parlemen saat ini,” kata Muhyiddin dalam pidato yang disiarkan televisi Malaysia pada Rabu (4/8).
Muhyiddin dilantik sebagai PM Malaysia menggantikan pendahulunya, Mahathir Mohammad, pada 1 Maret 2020. Kepemimpinan pria keturunan Jawa itu bahkan sudah rapuh di awal pelantikannya akibat polemik penunjukannya.
Koalisi Muhyiddin memimpin Negeri Jiran dengan dukungan mayoritas kecil 222 kursi di parlemen.
Partai oposisi pemerintah disebut berupaya mengajukan mosi tidak percaya terhadap Muhyiddin pada September nanti untuk melengserkannya.
Dikutip Malaysia Kini, pendahulu Muhyiddin, Mahathir, sempat mengajukan mosi tidak percaya terhadap Muhyiddin pada akhir 2020. Namun, hingga kini pengajuan mosi tersebut masih diperdebatkan.
Sejauh ini, pemungutan suara terkait mosi tidak percaya terhadap perdana menteri tidak pernah berlangsung dalam sejarah parlemen Malaysia.
Sebab, selama ini, mosi tidak percaya yang diajukan oposisi sulit diperdebatkan di parlemen. Meski pemimpin oposisi yang mengajukan mosi tidak percaya, itu tak menjamin bahwa langkah itu dapat lolos di parlemen.
Sebagai contoh, pada 5 November 2015, ketika ketua parlemen menerima pengajuan mosi tidak percaya yang diajukan pemimpin oposisi saat itu, Dr Wan Azizah Wan Ismail, terhadap PM saat itu, Najib Razak. Namun, pemungutan suara mosi tidak percaya itu tak pernah terjadi.
Sumber: CNN Indonesia
0 Komentar