Breaking News

14 Putusan MK Yang Menolak Uji Materi Terkait Presidential Threshold

Jakarta, MimbarBangsa.co.id — Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menolak 14 kali uji materi atau judicial review terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal ini mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional.

Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maulana mengatakan, berdasarkan kajian lembaganya, sebagian besar permohonan yang diajukan dinyatakan tidak diterima oleh MK, yaitu sebanyak 9 permohonan. Pasalnya, MK menilai 9 permohonan tersebut tidak memenuhi syarat formil, yakni legal standing atau kedudukan hukum para pemohon.

“Jadi, dari 14 permohonan, sebanyak 9 permohonan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat formil dan 5 putusan yang ditolak MK karena masalah substansi atau MK menilai permohonan tidak beralasan menurut hukum,” ujar Ihsan.

Menurut Ihsan, 14 putusan MK tersebut menjadi pelajaran penting bagi 8 permohonan baru JR Pasal 222 UU Pemilu ke MK. Para pemohon dari 8 uji materi tersebut, kata Ihsan, harus meyakinkan MK bahwa mereka memiliki legal standing dan terdapat kebaruan dalam substansi yang diajukan.

“Jika tidak, maka 8 permohonan tersebut akan mengalami nasib yang sama dengan 14 permohonan terdahulu soal presidential threshold ini,” tanda Ihsan.

Dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Pasal 3 PMK Nomor 06 Tahun 2005, yang dimaksud pemohon adalah adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; dan lembaga negara.

Berikut ini adalah 14 putusan MK yang menolak atau menyatakan tidak menerima permohonan uji materi terkait presidential threshold sebagaimana diolah dari data Kode Inisiatif dan dokumen permohonan uji materi ke MK.

A. 9 Permohonan JR presidential threshold yang dinyatakan tidak diterima:

1. Perkara 44/PUU-XV/2017

– pemohon: Habiburokhman, SH, M H

– batu uji: Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

– Alasan permohonan: terdapat peralihan model pemilu dari pemilu tidak serentak ke model pemilu serentak; syarat threshold (perolehan kursi/suara sah nasional pemilu legislatif) dijadikan syaratpengajuan capres/cawapres menabrak logika sistem presidensil yang dapat memperlemah presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan; Pasal 222 sebagai pintu masuk kartel politik; baik syarat capres/cawapres dan tata cara pemilihan presiden dalam UUD 1945 tidak mengatur syarat threshold dan UUD 1945 tidak mendelegasikan UU untuk mengatur syarat threshold; dan Pasal 222 tidak memberi kepastian hukum karena baik partai baru maupun partai lama yang tidak memiliki 20% kursi atau 25% suara sah nasional tidak dapat mengusulkan capres/cawapres.

2. Perkara Nomor 70/PUU-XV/2017

– pemohon: Partai Bulan Bintang (PBB)

– batu uji: Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) serta Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945

– alasan permohonan: bertentangan dengan model pemilu yang sudah dilaksanakan secara serentak; tidak setuju open legal policy; kewenangan open legal policy pembentuk undang-undang bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable; keberadaan threshold tidak ada kaitannya dengan penguatan sistem presidensil dan koalisi tidak dikenal dalam sistem presidensil karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada DPR.

3. Perkara 71/PUU-XV/2017

– pemohon: Hadar Nafis Gumay, Yuda Kusumaningsih, Perludem, dan KoDe Inisiatif

– Batu uji: Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945

– alasan permohonan: presidential threshold menghambat kesempatan setiap partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden; bertentangan dengan jaminan persamaan hak seluruh peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden dan kesempatan yang sama untuk duduk di pemerintahan; dan merusak makna pemilu serentak sesuai putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013.

4. Perkara 72/PUU-XV/2017

– pemohon: Mas Soeroso

– batu uji: Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945

– alasan permohonan: threshold membatasi warga negara untuk menggunakan hak pilih secara cerdas untuk memilih capres/cawapres karena threshold menjadikan capres/cawapres terbatas.

5. Perkara 50/PUU-XVI/2018

– pemohon: Nugroho Prasetyo

– batu uji: Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

– Alasan permohonan: presidential threshold membatasi pasangan calon presiden dan wakil presiden; menjadikan partai politik baru sebagai partai politik kelas 2, mendiskriminasi partai politik baru; bukan open legal policy; hasil pemilu sebelumnya (hasil Pemilu 2014), bukan hanya bisa digunakan untuk Pemilu 2019, tetapi juga pemilu 2024 dan seterusnya.

6. Perkara Nomor 58/PUU-XVI/2018

– pemohon: Muhammad Dandy

– batu uji: Pasal 1 ayat (3), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

– Alasan permohonan: partai politik hasil Pemilu 2014 tidak pernah mendapat mandat dari pemilih pemula pada Pemilu 2019 untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga berpotensi hilangnya hak konstitusional pemilih pemula untuk mendapatkan banyak alternatif calon pemimpin; presidential threshold mengebiri dan membatasi pemohon untuk mendapatkan calon alternatif presiden dan wakil presiden karena berpotensi besar terhadinya calon tunggal; MK harus bisa menafsirkan perbedaan frasa ‘syarat-syarat’ (Pasal 6 ayat 2) dan ‘tata cara’ (6A ayat 5), Presidential threshold menghambat kesempatan setiap partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden, sehingga bertentangan dengan jaminan persamaan hak seluruh peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan melanggar kesempatan yang sama untuk duduk di pemerintahan; merujuk pada hasil pemilu sebelumnya tidak sesuai logika dan merusak akal sehat; dan bukan open legal policy.

7. Perkara Nomor 61/PUU-XVI/2018

– pemohon: Partai Komite Pemerintahan Rakyat

– batu uji: Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

– tidak jelas permohonannya sehingga tidak diterima karena tidak memiliki legal standing.

8. Perkara Nomor 74/PUUXVIII/2020

– pemohon: Rizal Ramli dan Ir Abdulrachim Kresno

– batu uji: Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) hingga ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

– alasan permohonan: secara post factum (inconcreto) Pemilihan Presiden 2019 telah menyebabkan hilangnya hak konstitusional (constitutional rights) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) dalam mengusulkan pasangan calon presiden.

9. Perkara Nomor 92/PUU-XVI/2018

– pemohon: Deri Darmawansyah

– batu uji: Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945

– Alasan permohonan: presidential threshold mengharuskan presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik, sehingga pemohon tidak dapat mengakses menjadi presiden dari calon mandiri (perseorangan) karena harus diangkat oleh partai atau gabungan partai politik

B. 5 Permohonan JR presidential threshold yang ditolak

1. Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017

– pemohon: Partai Idaman

– batu uji: Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), 28D ayat (1), 28D ayat (3) dan 28I ayat (2) UUD 1945

– alasan permohonan: threshold tidak relevan dan kadaluarsa ketika diterapkan untuk pemilu 2019; bertentangan dengan logika keserentakan pemilu; mendiskriminasi partai baru untuk dapat mengusung capres/cawapres; menciptakan tawar menawar politik (politik transaksional); bertentangan dengan UUD 1945 karena merusak sistem presidensil; mengeliminasi fungsi evaluasi dari sebuah penyelenggaraan pemilu; Hasil Pileg 2014 sebagai syarat pengajuan capres/cawapres 2019 telah mencampuradukkan suara pemilih; dan tidak setuju open legal policy.

2. Perkara 59/PUU-XV/2017

– pemohon: Effendi Gazali

– batu uji: Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945

– alasan permohonon: Pasal 222 dapat menghalangi upaya untuk mengurangi politik transaksional; Pasal 222 tidak menjamin penyederhanaan sistem dan partai politik serta tidak menjamin bangunan koalisi jangka panjang; memakai hasil Pemilu DPR 2014 sebagai ambang batas pengusulan belum tentu ada hubungan apapun dengan koalisi pendukung presiden di DPR pada periode 2019-2024 karena hasil tersebut bisa jadi tidak ada hubungannya dengan hasil pemilihan DPR 2019-2024; Hasil atau pelaksanaan dari hak untuk memilih pemohon (pada pemilu DPR 2014) tidak mendapat jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan digunakan secara cenderung manipulatif, tanpa seizin Pemohon, dan tanpa memberikan informasi apa pun kepada Pemohon sebelum Pemohon melaksanakan hak memilihnya pada Pemilu DPR 2014; hak memilih warga negara akan digunakan sebagai ambang batas pengusulan pada pemilu presiden. Jika saja Pemohon diberikan informasi bahwa hasil hak memilih Pemohon pada Pemilu DPR Tahun 2014 akan digunakan menjadi ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019, maka Pemohon pasti tidak akan memilih pilihan yang sudah dilakukan Pemohon pada Pemilu DPR tahun 2014.

3. Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018

– pemohon: M Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Batubara, Hadar Nafis Gumay, dkk.

– batu uji: Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 22E ayat (6) dan Pasal 28D ayat (1)

– alasan permohonan: syarat ambang batas pencalonan yang berpotensi menghilangkan potensi lahirnya pasangan capres dan cawapres alternatif, yang sebenarnya telah diantisipasi dengan sangat lengkap bahkan melalui sistem pilpres putaran kedua; syarat pengusulan calon presiden oleh parpol sudah sangat lengkap diatur dalam UUD 1945 karenanya seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy (tidak setuju open legal policy); bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching; penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu.

Pasal 222 a quo mengatur “syarat” capres, dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan ‘tata cara’; pengaturan delegasi ‘syarat’ capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga frasa Pasal 222 a quo yang mengatur ‘syarat’ capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945; threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres/cawapres tunggal; kalaupun frasa Pasal 222 a quo dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non—tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apa pun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah, agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945; pengusulan capres dilakukan oleh partai politik peserta pemilu yang akan berlangsung bukan “pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga frasa pasal 222 a quo bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945; penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya frasa Pasal 222 a quo bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

4. Perkara 54/PUU-XVI/2018

– pemohon: Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID, MSi, Reza Indragiri Amriel, M.Crim (ForPsych), Khoe Seng Seng, dan Usman

– batu uji: nilai-nilai Pancasila yang tidak dapat dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945

– Alasan permohonan: bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang tidak dapat dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945; tidak sesuai dengan prinsip jujur dalam penyelenggaraan pemilu karena rakyat (pemilih) dibohongi dan tidak tahu kalau pilihannya dalam Pileg 2014 dijadikan syarat threshold untuk partai mengajukan capres/cawapres 2019; dan tidak setuju dengan pandangan MK terkait open legal policy.

5. Perkara 60/PUU-XV/2017

– pemohon Partai Solidaritas Indonesia (PSI)

– batu uji: Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2)

– Dalam permohonan ini, PSI memang tidak melakukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu, tetapi Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu soal pengecualian verifikasi parpol peserta pemilu dan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu soal keterwakilan 30% perempuan di kepengurusan parpol hanya diwajibkan tingkat pusat. Namun, dalam penjelasan pemerintah, DPR dan KPU memasukan pendapat tentang pengujian Pasal 222 UU Pemilu.

Sumber: Beritasatu

© Copyright 2024 - HARIAN NIAS - PUSAT BERITA KEPULAUAN NIAS