Breaking News

Ahli UGM Sarankan Nama Ibu Kota Negara Menggunakan Nama Asli Daerah

Jakarta, MimbarBangsa.co.id — Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur resmi mendapat nama Nusantara. Namun, tak semua pihak setuju dengan penamaan ini.

Salah satu opini tidak sepakat datang dari Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Akhyat. Arif menilai, ibu kota negara sebaiknya tetap dinamai dengan merujuk pada nama asli daerah tersebut.

Pasalnya, penggunaan nama yang baru dicemaskan dapat menghapus aspek historis sampai sosial budaya daerah yang bersangkutan. Arif menyarankan IKN tetap menggunakan nama asli wilayah.

“Nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya. Sebab, bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya,” terang Arif sebagaimana dikutip dari laman UGM.

Penamaan wilayah pada umumnya berhubungan dengan suatu riwayat. Berdasarkan perspektif ilmu sejarah, nama kota atau ibu kota selalu berkaitan dengan kemegahannya di era lampau.

Pengajar Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM itu juga menyebutkan, kata Nusantara sebetulnya tidak memiliki perspektif positif maupun negatif. Pada dasarnya, kata tersebut mengacu pada wilayah di luar Pulau Jawa.

Arif justru menekankan tentang bagaimana nantinya makna Nusantara ini diwujudkan dalam kebijakan politik. Tafsir nama diaplikasikan dalam pembangunan yang rata, berkelanjutan, dan tidak berat sebelah.

“Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan,” ujarnya.

Dirinya menyatakan inti pemindahan ibu kota ini bukan soal nama, melainkan harus lebih fokus pada persiapan berdasarkan analisis komprehensif serta multidisipliner.

“Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,” ucapnya.

Menurutnya, peran berbagai bidang juga sangat penting untuk mengatur keseimbangan pembangunan. Pemindahan IKN ini sifatnya harus adil sampai skala makro serta tidak hanya bersifat politis dan ahistoris.

Penamaan wilayah pada umumnya berhubungan dengan suatu riwayat. Berdasarkan perspektif ilmu sejarah, nama kota atau ibu kota selalu berkaitan dengan kemegahannya di era lampau.

Pengajar Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM itu juga menyebutkan, kata Nusantara sebetulnya tidak memiliki perspektif positif maupun negatif. Pada dasarnya, kata tersebut mengacu pada wilayah di luar Pulau Jawa.

Arif justru menekankan tentang bagaimana nantinya makna Nusantara ini diwujudkan dalam kebijakan politik. Tafsir nama diaplikasikan dalam pembangunan yang rata, berkelanjutan, dan tidak berat sebelah.

“Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan,” ujarnya.

Dirinya menyatakan inti pemindahan ibu kota ini bukan soal nama, melainkan harus lebih fokus pada persiapan berdasarkan analisis komprehensif serta multidisipliner.

“Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,” ucapnya.

Menurutnya, peran berbagai bidang juga sangat penting untuk mengatur keseimbangan pembangunan. Pemindahan IKN ini sifatnya harus adil sampai skala makro serta tidak hanya bersifat politis dan ahistoris.

Sumber: Detik

© Copyright 2024 - HARIAN NIAS - PUSAT BERITA KEPULAUAN NIAS