Breaking News

Dalam Hal Pemberitaan Kasus Anak. Apa Yang Tidak Boleh Disebutkan oleh Media?


Nias Selatan, HarianNias.com
Anak-anak, sebagai amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hak-hak dasar yang harus dijamin untuk memberikan perlindungan optimal. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif, bebas dari pemberitaan negatif, agar dapat mencapai kedewasaan yang sehat.

Sayangnya, dalam pemberitaan terkait anak di tanah air, seringkali anak-anak menjadi korban yang rentan. Identitas anak, mulai dari wajah, inisial, nama, alamat, hingga sekolah, terkadang diungkapkan secara sengaja atau tidak, menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Bahkan, bahasa pemberitaan yang terkadang kasar dan vulgar turut merugikan mereka.

Mencermati hal ini, perlu ditekankan bahwa media massa, terutama media penyiaran, memiliki peran penting dalam menjaga privasi dan keamanan anak-anak. Meskipun seringkali menampilkan sosok anak yang disamarkan dengan topeng atau diblur wajahnya, namun masih memungkinkan dikenali melalui ciri-cirinya. Hal ini mengakibatkan mereka tetap rentan terhadap berbagai ancaman dan eksploitasi.

Organisasi dan lembaga terkait, bersama dengan insan media, perlu meningkatkan kesadaran akan dampak pemberitaan terhadap anak-anak. Penyajian informasi yang melibatkan anak harus mematuhi etika jurnalistik yang menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan dan perlindungan anak. Menerapkan langkah-langkah konkret, seperti membatasi pengungkapan identitas anak dan menggunakan bahasa yang santun, dapat menjadi langkah awal menuju pemberitaan yang lebih bertanggung jawab.

Peran orang tua, pendidik, dan masyarakat juga tidak kalah pentingnya dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai hak-hak mereka terkait privasi dan perlindungan. Dengan demikian, anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dalam suasana yang mendukung, tanpa rasa takut terhadap eksploitasi atau penyalahgunaan identitas mereka.

Dalam upaya bersama menjaga masa depan bangsa, penting bagi semua pihak untuk bersinergi dan menegakkan prinsip-prinsip perlindungan anak dalam pemberitaan. Dengan demikian, setiap anak dapat tumbuh dengan layak, menggapai potensinya, dan menjadi generasi yang berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan negara.

Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak dan membuat Undang-Undang yang melindungi hak anak dalam hal ini Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Namun terdapat perbedaan dalam pengaturan batasan usia terkait perlindungan anak. Antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (16 th), Kode Etik Jurnalistik (16 th), Undang-Undang Perlindungan Anak (18 th) dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (18 th) dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (21 th), dan UU Administrasi Kependudukan (17 th).

Oleh Karena itu komunitas pers Indonesia yang terdiri dari wartawan, perusahaan pers dan organisasi pers bersepakat, membuat suatu Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang akan menjadi panduan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Wartawan Indonesia menyadari pemberitaan tentang anak harus dikelola secara bijaksana dan tidak eksploitatif, tentang suatu peristiwa yang perlu diketahui publik.

Pemberitaan Ramah Anak ini dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang yang terlibat persoalan hukum ataupun tidak; baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban.

Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang disepakati menggunakan batasan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, baik masih hidup maupun meninggal dunia, menikah atau belum menikah.

Identitas Anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama kakak/adik, orangtua, paman/bibi, kakek/nenek dan tidak keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan/klub yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan sang anak.

Adapun rincian Pedoman Pemberitaan Ramah Anak adalah sebagai berikut:

  1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
  2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
  3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
  4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
  5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
  6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
  7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
  8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
  9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
  10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
  11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
  12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan Pedoman ini diselesaikan oleh Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku. Jakarta, 9 Februari 2019

© Copyright 2024 - HARIAN NIAS - PUSAT BERITA KEPULAUAN NIAS